Senin, 13 Januari 2014

Inilah Absurditas Takfiri

Posted by Hasan M On Senin, Januari 13, 2014
Salah satu 'mujahidin' yang bertaqiyah menjadi waria di Suriah dan tertangkap oleh Tentara Pemerintah saat mencoba kabur dari medan peperangan. (FOTO: ISTIMEWA)
#IndonesiaTolakTakfiri - Pertanyaan: Mengapa kita harus percaya pada hukum kausalitas? Mengapa kita mesti percaya bahwa sebab A akan melahirkan akibat A dan demikian seterusnya?

Baik. Kita ambil sederhananya saja: Sebab hanya melalui kausalitas inilah kita dapat memahami alam beserta segenap gejala dan peristiwa di dalamnya. Tanpa hukum ini nyaris mustahil kita memaknai dan memahami apapun. Segalanya menjadi tak berarti, acak-acakan, berantakan, buram, leleh dan rembuh rembai. Bak orang bercermin di kaca yang rengat atau melihat pemandangan yang sangat kabut. Tanpa hukum alam ini mungkin kita bakal mendinginkan tubuh justru dengan api atau menggoreng roti dengan air.

Nah, mereka yang memandang dunia seperti itu melihat segalanya buram dan tak ada fokus. Biasanya orang seperti ini bakal mati-matian menegaskan yang tidak tegas, meyakin-yakinkan sesuatu yang mereka bayangkan dan melakukan sugesti yang kuat agar dapat meraba-raba keburaman yang terpaksa dia lalui. Jika Anda mendengar pernyataan atau membaca tulisan mereka, maka Anda seperti sedang menyelami lautan gelap di negeri antah berantah yang tidak bertepi. Logika nyaris tidak bermakna di sana, seperti tidak bermaknanya usaha mengajak bicara umbi-umbian. Manusia waras takkan mampu memasuki dunia ini kecuali ikut larut dalam kegilaannya. Inilah intisari jahiliah. Allah pun menyuruh Nabi-Nya dan kaum beriman untuk segera berpaling dari mereka, demi keselamatan jiwa dan raga mereka. Allah berfirman: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh (jahil).” (QS. 7: 199).

Nah, Celakanya, golongan wahhabi takfiri tak percaya pada hukum sebab-akibat ini, satu-satunya hukum yang bisa menjelaskan apapun di alam ini, sehingga mereka terjatuh dalam jurang kebodohan secepat meteor melesat. Mereka percaya pada sesuatu yang sama sekali tak bisa dijelaskan oleh akal sehat, falsafah hidup atau pandangan agama lurus manapun. Mereka percaya bahwa Allah sedemikian dekat dengan mereka. Bahwa Allah telah memberikan seluruh kekuatan-Nya pada mereka, tanpa perlu ada usaha apa-apa kecuali berteriak memanggil-manggil asma-Nya. Bahwa seluruh alam ini tunduk pada kemauan mereka seperti semuanya tunduk pada-Nya. Bahwa keinginan mereka adalah keinginan-Nya. Bahwa sekalipun fakta tidak menunjukkan realisasi keinginan mereka maka selalu ada tafsir, takwil dan ilusi yang bisa menjelaskannya. Bahwa mereka itu juga merupakan manusia-manusia yang telah sampai pada tingkat keimanan yang setara dengan Nabi Muhammad atau setidaknya para sahabat terdekat beliau. Bahwa wahyu Allah yang turun untuk Nabi Muhammad juga turun untuk mereka. Bahwa mereka adalah para sahabat Nabi yang paling dekat dan setia. Bahwa ucapan dan perilaku mereka setara dengan Sunnah. Dan akhirnya mereka percaya bahwa bantuan Allah pada Nabi Muhammad untuk menegakkan kalimat dan agama-Nya dengan berbagai mukjizat itu juga akan berlaku pada mereka. Seluruh dunia akan mereka taklukkan dengan teriakan takbir yang selantang dan sekeras yang bisa didengar telinga manusia biasa.

Inilah Takfiri. Mereka percaya pada hal-hal yang sama sekali sulit dijelaskan. Mereka percaya pada konspirasi global untuk membabat mereka, melalui anasir internal dan eksternal. Anasir internal terdiri atas kaum Muslim yang agamanya, menurut mereka, telah tercemar berbagai bid’ah, kesesatan dan ujungnya -- lagi-lagi menurut mereka -- adalah syirik. Para penganut mazhab Syiah dan tarekat-tarekat Sufi adalah yang paling mereka benci, bahkan dalam bahasa mereka lebih berbahaya daripada zionis Israel atau kafir manapun.

Lalu di balik musuh dalam selimut ini ada pula yang mereka gambarkan sebagai musuh-musuh di luar selimut yang tak habis-habisnya membenci Islam dan berhasrat membantai semua Muslimin sehingga harus ditanggapi dengan pedang dan hanya dengan pedang semata. (Catatan: bagi takfiri seorang tidak dianggap Muslim meskipun telah menyatakan diri sebagai Muslim dan bersaksi akan keesaan Allah dan Muhammad sebagai Nabi terakhir-Nya ).

Selanjutnya, tatkala mereka tak menemukan cara untuk mengalahkan musuh-musuh luar mereka, seperti Israel dan Amerika Serikat yang menjajah mereka, maka mereka akan mencari dalih—yang tentu saja selalu tersedia bagi mereka yang tak percaya logika dan konteks—untuk mempersalahkan situasi sekitar dan, ini yang ironis, memeranginya. Dan dengan alasan inilah rezim Saddam dan sejumlah raja Arab dengan mudah menggelandang mereka untuk berperang dengan Iran selama 8 tahun. Gagal mencapai apapun dari perang terpanjang abad 20 itu, mereka pun mencari-cari musuh yang lebih dekat lagi. Kali ini mereka mengobarkan perang dengan kelompok-kelompok Sunni yang semazhab dengan mereka. Perang saudara pun meletus di tahun awal 80-an di Suriah dan 90-an di Aljazair dengan bahan bakar utama yang bernaung di bawah metonim salafisme takfiri ini. Sekian lama berperang melawan musuh bayangan yang tidak terlihat dan memakan ratusan ribu korban, rezim Assad Senior berhasil mengalahkan mereka demikian pula rezim militer Aljazair.

Di saat kegagalan sudah di depan mata, mereka memberangus udara kebebasan rakyat Afghanistan yang baru saja direbutnya dari Uni Soviet. Sebuah rezim misogonistik dan drakonian Taliban pun berdiri dengan ilusi kembali ke masa 1.400 tahun silam, tanpa sedikitpun memperhatikan konteks, logika dan hukum sebab-akibat. Dan manakala segalanya tampak tidak berjalan sesuai waham mereka, maka sekonyong-konyong kelompok ini meledakkan menara kembar WTC di New York.

Ribuan warga sipil AS mati di tengah sorak-sorai takfiri di seluruh dunia, terutama di Afghanistan. Otak cupet mereka mengkhayalkan bahwa dengan serangkain aksi bunuh diri maka dunia Barat akan hancur berkeping-keping dan 1 milyar lebih Muslim dunia akan tertunduk kagum mendukung mereka. (Catatan: tentu saja asumsi ini tidak bertentangan dengan sejumlah teori konspirasi yang menyatakan banyaknya kejanggalan dalam tragedi 11 September tersebut. Namun demikian, pikiran yang muncul dalam benak takfiri sama sekali tidak bersandar pada teori konspirasi atau teori apapun juga. Semuanya hanya berputar pada hampanya kekosongan otak mereka).

Apa yang terjadi kemudian di alam nyata? Dunia Barat di bawah komando AS memburu mereka mereka di seluruh dunia, termasuk ke lobang-lobang gua persembunyian mereka di pegunungan Afghanistan. Satu demi satu tokoh mereka mati. Mereka tak berhasil melakukan apa pun kecuali berdusta dan menabur nubuat-nubuat kemenangan tentang mujahidin yang bakal mengibarkan bendera-bendera hitam menyambut ’Imam Mahdi’. Puncaknya, Afghanistan hingga hari ini luluh lantak diterpa badai perang saudara. Belum ada hasil apapun di Afghanistan, para takfiri ini kembali berjejal menyesaki Irak. Menghadapi invasi militer asing, kaum takfiri tak punya orientasi yang jelas--segalanya seperti buram di depan mereka. Alih-alih mengerahkan seluruh tenaga untuk melawan invasi asing tersebut, mereka malah memunculkan bahaya ’kebangkitan rofidhoh Syiah’ Irak, yang, dalam banyak kesempatan, juga mereka sebut sebagai ’agen AS dan Iran’.

Bisa dibayangkan apa hasilnya? Konflik horisontal meletup di mana-mana, dengan dalih mempertahankan eksistensi mazhab Sunni menghadapi mayoritas Syiah Irak. Hasilnya, Syiah justru menguat dan merebut pucuk pimpinan pemerintahan lewat proses pemilu yang demokratis. Aksi-aksi bom bunuh diri mereka yang pada tahun 2013 lampau saja telah merenggut 8.000 nyawa, sampai detik ini, tak berdampak apa-apa. Tak ada perubahan peta politik atau kemenangan dalam makna yang konkret. Warga Syiah Irak kian rajin mengekspresikan diri dalam berbagai bidang, termasuk dalam ritual yang menyakitkan hati kaum takfiri seperti ziarah kubur dan tawasul. Teror bom bunuh diri pun perlahan-lahan menjadi rutinitas hidup sehari-hari bagi kebanyakan warga Irak. Tidak ada lagi orang Syiah yang ketakutan dan kalang kabut menghadapi ledakan bom, di mana pun dan kapan pun.

Tentu saja, kegagalan sistemik ini tidak berarti apa-apa bagi golongan orang yang tidak mengakui kausalitas, menolak logika dan melepaskan diri dari konteks. Selama ada orang bodoh di bumi ini, selama itu pula ideologi anti-akal ini dapat bertahan dan mungkin tumbuh merekrut ribuan calon pelaku bunuh diri. Meski demikian, selaras dengan watak ideologi anti akal dan kewarasan in, mereka takkan pernah mampu mengumpulkan jumlah manusia yang cukup signifikan untuk dapat disebut mayoritas, di mana pun juga. Bahkan, pertumbuhan jumlah penganut ideologi ini akan berbanding terbalik dengan kemampuannya bertahan dalam ekstremitas dan absurditas, sebagaimana dapat kita lihat dalam situasi terkini di Suriah.

Seperti kita ketahui, tahun 2011 lalu Timur Tengah menyaksikan serangkain pergolakan yang disebut-sebut dengan Musim Semi Arab. Di Libya bau amis darah menjadi magnit bagi kaum takfiri untuk berbondong-bondong datang dan mengobarkan jihad. Konon mereka mencita-citakan semacam khilafah Islam global dari Tonja Jakarta. Namun sialnya, sampai detik ini konflik bersenjata masih terjadi di Libya di antara faksi-faksi takfiri ini sendiri.

Pada saat wabah krisis menjalar ke Suriah dan melahirkan siklus kekerasan yang menelan lebih dari 200.000 nyawa, kelompok penganut ideologi waham takfiri dari 80-an negara itu pun berduyun-duyun menjamur di bumi Syam. Kali ini, hasrat membunuh, membantai dan memamerkan aksi-aksi masokis dan sadistik mereka dijustifikasi oleh dugaan ’kebrutalan’ rezim Assad.

Mula-mula mereka mengira akan meraih kemenangan ekspres.

Faktanya, kemenangan melawan militer Suriah yang didukung oleh aliansi geopolitik yang kuat takkan pernah mudah diraih. Ratusan ribu korban berjatuhan tapi tampaknya kian hari pemerintahan Suriah di bawah Assad tampak kian kebal. Sialnya, waham meraih kemenangan kilat yang tak kunjung datang, membuat mereka makin merayang dan menolak kausalitas. Bumbu berbagai nubuat dari hadis-hadis yang tak pernah melalui proses verifikasi ilmiah yang mumpuni, yang telah mereka guyur ke seantero dunia Islam, seperti tak mempan membuat kemajuan apa-apa. Teriakan takbir dan waham superioritas mereka atas seluruh kelompok manusia lain bak menggantang asap mengukir langit. Dan puncaknya, mereka yang merasa selalu dekat dengan Allah karena telah “berjihad” di jalan-Nya, mulai curiga pada sekelilingnya. Pada saat inilah mereka mulai saling bunuh dan saling gorok.

Faksi-faksi paramiliter yang bergabung Al-Daulah Al-Islamiyyah fi Al-Iraq wa Al-Syam (yup, tak salah jika disingkat menjadi “Daesy”) akhirnya berperang habis-habisan melawan faksi-faksi paramiliter yang bergabung dengan Jabhah An-Nusra dan Jaisy Al-Islam. Kedua belah pihak telah saling mengkafirkan dan menghalalkan darah masing-masing. Aksi-aksi bom bunuh diri yang dulu menyerang target-target militer Suriah kini menyasar markas-markas faksi-faksi militer takfiri sendiri.

Sejak 4 Januari kemarin, perang saudara kembar ini kian sengit. Dalam sepekan saja, perang kanibalistik yang mengubur seluruh jargon tentang revolusi sipil di Suriah itu telah menelan lebih dari 500 nyawa.

Pertanyaannya, mengapa mereka saling menyerang dan membunuh? Di sinilah uniknya ideologi takfiri: jika Anda tak bisa mengalahkan musuh, maka carilah musuh yang paling dekat untuk dapat meningkatkan moral Anda dalam berperang. Dan jika musuh terdekat pun tak bisa dikalahkan, maka carilah musuh yang paling dekat. Dan bila yang terakhir ini pun gagal, padahal Anda yakin dekat dengan Allah dan berjihad di jalan-Nya, maka bunuhlah dirimu, karena hidupmu sudah tidak lagi bermakna.

Kami, manusia waras, menyebut semua proyek ideologi takfiri tersebut sebagai ideologi waham yang lahir dari dunia gelap kejahilan dan diperjuangkan dengan gigih oleh sekelompok orang jumud yang percaya bahwa gelap adalah terang. Jalan mereka menuju kehancuran dan kegagalan, sayangnya, seringkali menyeret sekian banyak manusia yang sebenarnya juga datang dari alam kebodohan. Tentu saja, drama takfiri yang sedang terjadi di Suriah, juga yang sedang terjadi di Irak dan di Afghanistan -- dan juga sedang rajin dimegaphonekan di seluruh Indonesia, bakal berujung pada pelajaran besar bagi manusia normal.

Percayalah pada hukum sebab-akibat. Bukan apanya: ini semua semata agar Anda dapat menjadi manusia pembelajar dan tidak bersikap seperti burung onta yang menenggelamkan kepala di dalam pasit saat dikejar pemangsanya. []

0 komentar:

Posting Komentar

Hubungi Kami

Nama

Email *

Pesan *

Tentang Kami


Hak Cipta Hanyalah Milik Allah Semata. Kaum Muslimin Berhak Memanfaatkan Semua Postingan di Blog Ini untuk Tujuan Kemaslahatan Umat. SHARE YOUR KNOWLEDGE FOR FREE!!